Sabtu, 13 April 2013

Tidak Etis, Atau?




Setelah beberapa hari lalu melihat mading sekolah, atau tepatnya karikaturnya saja. Yang isinya perbedaan—atau lebih tepatnya perbandingan—antara guru lama/kuno dengan guru modern. Guru kuno digambarkan sebagai berikut: Kemeja lusuh, begitu juga dengan celananya, ditakuti murid, motor butut, tidak sehat, tidak digaji tetap, tidak sejahtera. Sedangkan guru modern digambarkan: mobil sport, kemeja bagus, tidak beda keren dengan celananya, tablet PC, smartphone, wajah menarik, digemari murid, rambut stylish, badan kekar, gaji tetap, sejahtera. Saya agaknya merasakan keganjilan di situ, yakni sangat jelas bahwa gaji, disandingkan dengan kesejahteraan. Salah satu bukti bahwa kita masih materialistis. Inilah yang ada sekarang, semua dibandingkan dengan uang. Memang salah satu sebab kesejahteraan adalah uang, tapi apakah tidak cukup etis kita membanding-bandingkan dua pahlawan yang sudah jelas hidup di masa yang berbeda? Guru kuno/dulu, memang hidup dengan sedemikian sederhana, karena memang masanya begitu. Guru kuno ditakuti? bukan, beliau disegani, karena kesederhanaan beliau dan sifat tawadhu'nya. Dan pendapat saya, guru kuno/dulu masih lebih superior daripada guru modern, itu ditunjukkan dengan hasil didikan beliau yang memang agak jauh perbedaannya. Bisa jadi itu karena kesederhanaan beliau dalam mengajar. Itu bisa menjadi contoh yang luar biasa bagi para murid. Tidak seperti penggambaran yang berlebihan tentang guru modern/masa kini oleh pembuatnya. Para guru modern pun agaknya sulit menerima itu, beliau tidak mau seperti itu. Menurut saya juga, itu bisa menjadi penghinaan bagi para guru modern. Karena mungkin tidak sesuai realita. Saya juga berharap itu bukan merupakan hasil pikiran mereka sendiri. Sudah kita ketahui, guru itu panutan, jika saja panutannya seperti apa yang mereka gambarkan, bagaimana dengan para murid? Dalam al-Qur'an dijelasknan, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".


Sudah Pantaskan Kita?





Miris melihat guru sendiri tidak bisa mem-posisikan diri sebagai guru SMA, mungkin masih terbawa aroma bocah SD. Tapi sebagai professional, bahkan sedah mengajar di sekolah lebih dari 5 tahun, hal seperti itu adalaha hal yang tabu. Bagaimana bisa? Temen-temen saya saja bisa mengajar adik-adiknya dengan baik. Jika sistem pengajaran seorang guru tidak dikembangkan dengan baik, para murid akan bosan dan sulit menerima pelajaran. Belum lagi tanggungan guru di Madrasah. Di Madrasah guru itu dapat amanah, tidak mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban, atau bahkan—na’udzubillah—hanya untuk memeroleh beberapa peser uang.