Siang itu, aku melihat beberapa bocah bersepeda dan saling
pamer kemampuan mengendarai sepedanya. Semacam pesepeda profesional saja. Yang
terpenting adalah ketika mereka tidak takut akan bahaya yang mungkin akan
terjadi. Mulai dari kaki terkilir, sampai kepala terbentur tiang bendera.
Benar, saya tidak mengada-ada. Beberapa tahun lalu, saya mendapati seorang
kawan yang tak kuasa berdiri karena ban depan dari sepeda yang ditungganginya
copot tepat beberapa meter sebelum ia melintasi tiang bendera. Tengkorak
mungil, diadu dengan tiang besi yang angkuh. Teman saya rubuh.
Bahagia, senang, bersorak-sorai. Bocah memang seperti itu.
Pipi kananku menarik bibirku. Aku tersenyum.
Aku menyusuri memoriku. Memori-memori buruk—dosa—bertebaran
dan tersenyum jahat kepadaku. Aku tak bergeming. Sampailah aku pada
memori-memori masa lalu, terkena minyak mendidih punya tukang cilok goreng di
SD, kencing di kolam kaki musala, menangis karena terjatuh lalu diberikan
tendangan penalti sebanyak tujuh kali, dan banyak lagi. Selain hal-hal miris
itu, banyak sekali aku merindu ke Ibu. Memang dalam memori-memori indah itu,
banyak sekali muka Ibu berserakan. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak
kirim doa untuknya. Boro-boro berdoa, qunut saja, hampir lupa aku susunannya. Ah,
Ibu, aku rindu. Tapi seakan tak mungkin jika aku akan mengulangi hal-hal itu di
masa kini. Aku sudah kalah dengan egoku sendiri. Aku masih malu dengan Ibu yang
masih tak kunjung bahagia dengan keberadaanku. Tiap bulan kasih uang
saku, tiap bulan tabunganku hanya segitu. Bapak juga begitu. Aku lupa kapan
terakhir kali aku bercengkerama hangat dengannya. Biasanya memang hanya seucap
dua ucap. Ia kubuat menjadi hanya sekadar alaram pengingat sembahyang buatku
ketika berada di rumah. Di luar rumah? Eh eh, tidak usah dibahas.
Debu berterbangan di lapangan. Beberapa siswa bermain voli
di sana. Anak-anak itu tak gentar. Mereka bermain saja. Tetap bermain. Aku
masih berdiri di balkon. Roni di dekatku tetap berbicara. Sesekali aku berdehem
tanda setuju. Tanpa harus tahu apa yang sedang ia bicarakan. Ia semakin
semangat. Aku makin tak enak hati. Aku berbalik badan dan mulai membalasi
obrolannya. Obrolan kami biasa saja. Ya, hanya itu. Cerita kami tidak begitu
menarik. Selain tidak seru, juga terlalu saru.
Aku masih saja mengingat-ingat dan sedikit tersenyum karena
aku ingat suatu sore aku bersama Ibu berada di teras rumah. Halaman rumah kami
mendadak menjadi semacam kali cukup besar bagi hewan seukuran tikus. Aku yang
saat itu baru bisa membuat kapal dari kertas, berinisiatif untuk melayarkan
kapal kertasku di atas air yang sedang deras itu. Aku berlari ke kamar dan
menyobek beberapa lembar kertas. Ibu meminta beberapa lembar yang lain. Aku
berikan kepadanya. Kami membuat kapal dari kertas. Punya Ibu nampaknya bisa
berlayar dengan stabil selagi kapalku terlihat doyong melawan derasnya ombak.
Aku tetap senang. Air itu menyenangkan. Hujan saat itu begitu indah.
Aku mengumpat sejadi-jadinya. Hujan deras tepat beberapa
menit sebelum kelasku usai. Aku mengumpat seribu bahasa. Selain aku lapar, aku
sudah tidak tahan untuk keluar. Kampusku serasa enam belas kali lipat sumpeknya
daripada pesantrenku. Entah dari mana aku bisa memberi kesimpulan bahwa
rasionya adalah enam belas, yang penting aku sudah tidak tahan. Aku mengadu
pada Tuhan, tapi Ia tak mau tahu. Siapa aku, juga. Aku masih mencoba percaya
bahwa hujan akan segera bubar. Aku mencoba percaya. Aku masih percaya. Tapi
akhirnya kelas usai, dan hujan masih saja deras. Angin kencang melewati kelasku
dan kulihat ia menjulurkan lidahnya kepadaku. Bangsat, umpatku lagi. Harapan
indahku ketika masih baru akan pergi ke kelas tiba-tiba basah. Tiba-tiba kopiku
dingin kehujanan. Rokokku mati diludahi langit. Lalu aku sadar aku masih berada
di dalam kelas. Tak bergerak sedari setengah jam yang lalu. Hanya berjarak
beberapa milimeter dari memori hujan yang mesra, berdiri memori hujan yang
membikinku sengsara. lalu kubuang begitu saja.
Roni masih berbicara kepadaku. Dan debu di lapangan itu, memaksaku
untuk kedinginan.