Sabtu, 18 Maret 2017

Ludah Roni dan Debu di Pipinya

Siang itu, aku melihat beberapa bocah bersepeda dan saling pamer kemampuan mengendarai sepedanya. Semacam pesepeda profesional saja. Yang terpenting adalah ketika mereka tidak takut akan bahaya yang mungkin akan terjadi. Mulai dari kaki terkilir, sampai kepala terbentur tiang bendera. Benar, saya tidak mengada-ada. Beberapa tahun lalu, saya mendapati seorang kawan yang tak kuasa berdiri karena ban depan dari sepeda yang ditungganginya copot tepat beberapa meter sebelum ia melintasi tiang bendera. Tengkorak mungil, diadu dengan tiang besi yang angkuh. Teman saya rubuh.
Bahagia, senang, bersorak-sorai. Bocah memang seperti itu. Pipi kananku menarik bibirku. Aku tersenyum.
Aku menyusuri memoriku. Memori-memori buruk—dosa—bertebaran dan tersenyum jahat kepadaku. Aku tak bergeming. Sampailah aku pada memori-memori masa lalu, terkena minyak mendidih punya tukang cilok goreng di SD, kencing di kolam kaki musala, menangis karena terjatuh lalu diberikan tendangan penalti sebanyak tujuh kali, dan banyak lagi. Selain hal-hal miris itu, banyak sekali aku merindu ke Ibu. Memang dalam memori-memori indah itu, banyak sekali muka Ibu berserakan. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak kirim doa untuknya. Boro-boro berdoa, qunut saja, hampir lupa aku susunannya. Ah, Ibu, aku rindu. Tapi seakan tak mungkin jika aku akan mengulangi hal-hal itu di masa kini. Aku sudah kalah dengan egoku sendiri. Aku masih malu dengan Ibu yang masih tak kunjung bahagia dengan keberadaanku. Tiap bulan kasih uang saku, tiap bulan tabunganku hanya segitu. Bapak juga begitu. Aku lupa kapan terakhir kali aku bercengkerama hangat dengannya. Biasanya memang hanya seucap dua ucap. Ia kubuat menjadi hanya sekadar alaram pengingat sembahyang buatku ketika berada di rumah. Di luar rumah? Eh eh, tidak usah dibahas.
Debu berterbangan di lapangan. Beberapa siswa bermain voli di sana. Anak-anak itu tak gentar. Mereka bermain saja. Tetap bermain. Aku masih berdiri di balkon. Roni di dekatku tetap berbicara. Sesekali aku berdehem tanda setuju. Tanpa harus tahu apa yang sedang ia bicarakan. Ia semakin semangat. Aku makin tak enak hati. Aku berbalik badan dan mulai membalasi obrolannya. Obrolan kami biasa saja. Ya, hanya itu. Cerita kami tidak begitu menarik. Selain tidak seru, juga terlalu saru.
Aku masih saja mengingat-ingat dan sedikit tersenyum karena aku ingat suatu sore aku bersama Ibu berada di teras rumah. Halaman rumah kami mendadak menjadi semacam kali cukup besar bagi hewan seukuran tikus. Aku yang saat itu baru bisa membuat kapal dari kertas, berinisiatif untuk melayarkan kapal kertasku di atas air yang sedang deras itu. Aku berlari ke kamar dan menyobek beberapa lembar kertas. Ibu meminta beberapa lembar yang lain. Aku berikan kepadanya. Kami membuat kapal dari kertas. Punya Ibu nampaknya bisa berlayar dengan stabil selagi kapalku terlihat doyong melawan derasnya ombak. Aku tetap senang. Air itu menyenangkan. Hujan saat itu begitu indah.
Aku mengumpat sejadi-jadinya. Hujan deras tepat beberapa menit sebelum kelasku usai. Aku mengumpat seribu bahasa. Selain aku lapar, aku sudah tidak tahan untuk keluar. Kampusku serasa enam belas kali lipat sumpeknya daripada pesantrenku. Entah dari mana aku bisa memberi kesimpulan bahwa rasionya adalah enam belas, yang penting aku sudah tidak tahan. Aku mengadu pada Tuhan, tapi Ia tak mau tahu. Siapa aku, juga. Aku masih mencoba percaya bahwa hujan akan segera bubar. Aku mencoba percaya. Aku masih percaya. Tapi akhirnya kelas usai, dan hujan masih saja deras. Angin kencang melewati kelasku dan kulihat ia menjulurkan lidahnya kepadaku. Bangsat, umpatku lagi. Harapan indahku ketika masih baru akan pergi ke kelas tiba-tiba basah. Tiba-tiba kopiku dingin kehujanan. Rokokku mati diludahi langit. Lalu aku sadar aku masih berada di dalam kelas. Tak bergerak sedari setengah jam yang lalu. Hanya berjarak beberapa milimeter dari memori hujan yang mesra, berdiri memori hujan yang membikinku sengsara. lalu kubuang begitu saja.

Roni masih berbicara kepadaku. Dan debu di lapangan itu, memaksaku untuk kedinginan.

Senin, 13 Maret 2017

Sora Aoi dan Para Sofis

Di salah satu pertunjukan stand-up comedy milik Pandji, entah apa nama pertunjukannya. Pandji ngomong, “ketika ganja dilarang karena menyebabkan candu, harusnya rokok juga dilarang dong? Ketika ganja dilarang karena bikin lepas kendali, harusnya minuman beralkohol juga, dong?”.

Yang menjadi perhatian saya di situ adalah candu, dan mabuk atau lepas kendali.

Setelah belasan tahun saya hidup, (iya, saya sudah 19 tahun, saya pakai belasan biar dikira masih 15 atau 16 saja, nyolong umur) saya seringkali menemui candu saya. Begitu pula dengan ketidakmampuan saya mengendalikan diri sendiri. Saya juga melihat banyak sekali orang di lingkungan saya yang juga mempunyai candu mereka sendiri. Sebenarnya, candu itu sama sekali relatif. Tiap karakter orang ditunggangi oleh candu mereka sendiri-sendiri. Perokok, tentu saja mereka—termasuk saya—ditunggangi oleh rokok-rokok mereka. Orang kaya, bisa jadi ditunggangi keinginan-keinginan rakus mereka. Orang miskin, ditunggangi orang-orang kaya. Penikmat film bokep, bisa jadi ditunggangi selangkangan-selangkangan Sora Aoi atau banyak lainnya. Contoh nomor dua dari terakhir adalah tidak tepat, hanya saja saya iri dengan orang kaya, karena saya tak kunjung kaya. Ahsudahlah. Intinya, banyak sekali hal yang membikin candu. Game, rokok, uang, gadis cantik, dan buku adalah beberapa hal yang saya sudah bertemu dengan orang-orang yang candunya adalah hal-hal tersebut. Izinkan saya berasumsi, jika ada hal yang berhasil menunggangi kita, kita akan menyebut mereka sebagai kepentingan, kebutuhan, dan bahkan kewajiban. Nah, sampai pada saat ini, candu akan kemudian membawa kita ke dalam ruangan di mana mereka yang mengendalikan kita. Kita akan masuk kepada di mana, secara teori, kita mabuk. Dan ketika kita mabuk, kita lupa akan Tuhan. ASTAGHFIRULLAH! TOBAT KLEAN!

Baiklah, kita lanjutkan.

Sampai mana tadi?

Jika saya menggunakan logika Jonru yang—mungkin—sudah ustad itu, maka saya akan memberikan kesimpulan seperti ini; mabuk adalah haram, maka orang yang menolak disebut sebagai bukan pemabuk juga haram.

Jika saya adalah Sofis Yunani, mungkin saya akan berorasi seperti ini; “dahulu kala, tempat ini adalah tempat di mana para lelaki melakukan masturbasi, setelah salah tahu dari mereka kedapatan menyetubuhi keledai, mereka sadar bahwa kebiasaan mereka adalah dosa, lalu mereka menutup tempat ini dengan segera dan kembali ke istri-istri mereka”. Lalu salah satu pengikutnya menanyakan akan hal ini, “bukankah desa ini dulunya hanyalah hutan?”. Dan saya akan pura-pura budheg dan menganggap mereka bodoh.

Saya juga hidup dengan candu saya yang masyaallah sulitnya untuk dilepas. Dan saya masih kesulitan untuk menemukan manusia yang tidak dalam pengaruh candu apapun. Apakah itu salah satu dari kalian? 

Lagi, baiklah. Saya hanya ingin menulis tentang candu ini. Karena sudah tentu candu yang tidak kita sadari jelas lebih berbahaya daripada candu-candu yang di situ dituliskan bahwa mereka menyebabkan kecanduan. Karena kita akan terus-menerus menikmati candu tersebut, tanpa ada rasa sesal lalu ingin taubat. Ah, eek kebo. Saya makin ngelantur. Sudah. Pesan moral yang mungkin tidak sadar dan sengaja saya tulis tadi tentu saja saya menulisnya ketika mabuk, tidak usah dianggap serius, apalagi dianggap menggurui, wong saya salat Subuh saja masih Senin-Kamis, kok.

Buat kalian yang belum tau Sora Aoi, lupakan dia, jauh sebelum kalian tahu enaknya ditunggangi olehnya.