Kamis, 13 April 2017

Babi Adalah Kita

Beberapa waktu ini, kurang lebih tiga tulisan yang harusnya bisa kutulis, tetapi setelah beberapa paragraf rampung, tulisan itu kuhapus semuanya, dan aku menatap langit, tanpa daya.
Pertama, aku gagal menulis tulisan yang menyoal Zakir Naik karena pada ujungnya, aku merasa bahwa tulisanku tentang itu tak obyektif-obyektif amat, di lain tulisan itu mungkin tak begitu diminati karena aku menulis beberapa hal yang cukup teknis. Hal teknis ini mungkin sulit untuk ditulis tidak menggunakan bahasa teknis karena memang begitu adanya. Di lain itu, aku juga kehabisan referensi untuk menulis soal dia. Karena banyak terlalu banyak ketidaksetujuanku soal dia yang seakan itu akan membuat tulisanku berbau naif, berbau sekali.
Kedua, aku gagal menulis karena ketika aku ingin menulis soal Luis Enrique dan egonya yang ia pupuk, aku gagal bahkan ketika aku masuk paragraf kedua. Ketika itu aku mencari referensi tentang bagaimana ia bergelut di dunia sepakbola dan akhirnya bisa menjadi seperti ini. ketika aku mencari referensi-referensi itu, aku menemukan tulisan dari Bang Pange (Pangeran Siahaan) yang di situ banyak sekali pujian dan rasa terimakasih terhadap Zen RS yang membuatnya bisa menulis seperti saat ini. setelah membaca itu, aku merasa menjadi debu di sandal jepit mereka berdua. Aku ndingkluk, dan menghapus semua huruf di paragraf pertama, lengkap dengan judulnya.
Ketiga, ketika aku ingin curhat soal apa yang sedang akan kukerjakan sekarang, aku memulai dengan kalimat yang begitu identik dengan kalimat-kalimat yang telah kugunakan di tulisan lain. Historikal. Tulisan-tulisanku tak variatif cenderung membosankan. Aku berpikir-pikir tentang bagaimana aku bisa menulis dengan model yang lain, dan akhirnya gagal. Hasilnya adalah tulisan ini, yang juga sama historikalnya dengan tulisan-tulisan sebelumnya.
Aku adalah babi yang tak tahu aku babi.

Sabtu, 01 April 2017

2002 dan Endorse Susu

Entah apa yang membuatku suka bermain bola. Bola, dalam hal ini adalah sepakbola. Aku masih sangat ingat ketika aku mengganggu jalannya nonton bareng final piala dunia 2002 antara Brasil melawan Jerman. Untukku, itu salah satu bukti bahwa pada tahun itu, aku masih mah moh pada bola. Singkat waktu, di suatu siang, ketika aku sedang leyeh-leyeh di kamar, seorang kawan mengajakku bermain bola. Ketika itu, aku ikuti saja apa katanya. Tanpa aku tahu apa itu sepakbola. daripada aku menganggur, pikirku saat itu. Lalu beberapa minggu lagi, ia yang harus mendengarkan teriakanku dari luar kamarnya. Meminta hal yang sama. Mulai saat itulah aku menjadi bocah yang gila bola. Aku mencuri-curi waktu untuk bermain bola ketika masih berada di sekolah. Sepulangku dari sekolah, aku mengerjakan tugas sekolah sampai tuntas—ya, aku memang sangat rajin perihal seperti ini, paling tidak, dahulu kala. Setelah itu, ketika hari sudah mulai sore, aku keluar rumah dan mengajak teman-temanku untuk bermain bola. Lagi. Di sela-sela pertandingan, terkadang ada seorang ustad yang menghampiriku dan memintaku untuk membaca beberapa pelajaran mengaji. Mungkin lebih familiar dengan sebutan ngaji privat. Karena aku tak begitu banyak memiliki banyak pilihan, aku pergi ke rumah dan membaca satu atau dua halaman buku Iqro’. Setelah itu, setelah aku tak begitu memusingkan nilai apa yang diberikan kepadaku, aku berlari ke lapangan dan kembali lagi bermain bola. Sebelum langit gelap, aku enggan untuk beranjak dari lapangan. Aku begitu menikmati bagaimana aku menghabiskan waktu kala itu. Pagi? Sudah. Sore? Sudah. Sudah? Belum. Di malam hari, aku juga seringkali bermain bola. Biasanya tepat setelah pertandingan bola Liga Inggris bubar. Dengan kaus long-sleeve, aku berangkat ke lapangan dan berasa seperti pemain profesional yang baru saja kutonton barusan. Gila bola inilah yang mungkin membuatku tak kunjung gemuk. Terakhir kali aku gemuk, aku masih berusia tiga tahun atau kurang. Lebih dari itu, aku begini-begini saja. Ya, minimal, aku cocok dengan iklan susu Hi-Lo, tumbuh itu ke atas, bukan ke samping. Apakah aku Hi-Lo radikal?