Kamis, 04 Mei 2017

Rindu?

Kita sudah tahu sekali gambar salah satu presiden Indonesia dengan tangannya yang dibuka, lalu di sebelahnya ada kalimat, “Piye? Enak jamanku to?”.
Melihat dan membacanya, saya kadang tersenyum, dan terkadang sedih. Ini adalah satu bukti bahwa masih banyak orang yang merindukan kepemimpinannya. Sudah 19 tahun lamanya pemerintahan negara ini ditinggalkannya. Di 19 tahun itu juga, masih banyak orang yang menginginkan suatu saat nanti, akan ada presiden semacamnya lagi yang menjadi presiden. Tommy? Eh.
Baru-baru ini aku menjalani hidup dengan agak aneh. Tanpa ada interaksi dengan seseorang yang sebelumnya begitu aktif membunyikan notifikasi whatsapp-ku. Perlu diketahui—ini tak penting-penting amat sebenarnya—bahwa ada dua bunyi notifikasi, yaitu untuk grup, dan notifikasi pesan pribadi. Seperti yang sudah kuceritakan, hampir saja ponselku lupa notifikasi model apa yang harus dibunyikan ketika ada pesan pribadi masuk. Intinya, ada sesuatu yang menghilang dari kebiasaan. Ini bisa jadi juga menjadi keuntungan bagiku sekaligus kerugian di saat yang sama. Aku terkadang merasa rindu. Tentu saja. Rindu ini tentu kadang membohongi kita. Terkadang merugikan kita. Kita seakan akan lupa akan hal apa yang kita sangat tidak suka. Yang penting kangen. Wis. Rindu membuat kita buta akan hal-hal yang sebenarnya tidak kita inginkan, tapi karena ada hal yang serasa hilang, rindu akan memaksa kita untuk kembali ke masa itu.

Entah ini nyambung atau tidak. Perihal rindu akan dia dan rindu akan presiden yang sedari tadi kubicarakan ini agaknya sama. Kita dibuat lupa akan hal-hal yang tidak kita suka. Pemberedelan media, penghilangan jasad atau nyawa, pembantaian, dan pertumbuhan ekonomi yang hanya untuk sanak keluarga seakan hilang begitu saja ketika kita merasa kehilangan sosoknya. Mungkin kita bisa merasa kehilangan dia karena kita sudah terlalu lama dipimpin olehnya.
Jangan biarkan rindumu membelenggu hidupmu. Aku sebagai jomblo tentu tidak bisa merindukan siapapun. Apalagi presiden yang kusebut-sebut dari tadi itu. Ciao!

Kamis, 13 April 2017

Babi Adalah Kita

Beberapa waktu ini, kurang lebih tiga tulisan yang harusnya bisa kutulis, tetapi setelah beberapa paragraf rampung, tulisan itu kuhapus semuanya, dan aku menatap langit, tanpa daya.
Pertama, aku gagal menulis tulisan yang menyoal Zakir Naik karena pada ujungnya, aku merasa bahwa tulisanku tentang itu tak obyektif-obyektif amat, di lain tulisan itu mungkin tak begitu diminati karena aku menulis beberapa hal yang cukup teknis. Hal teknis ini mungkin sulit untuk ditulis tidak menggunakan bahasa teknis karena memang begitu adanya. Di lain itu, aku juga kehabisan referensi untuk menulis soal dia. Karena banyak terlalu banyak ketidaksetujuanku soal dia yang seakan itu akan membuat tulisanku berbau naif, berbau sekali.
Kedua, aku gagal menulis karena ketika aku ingin menulis soal Luis Enrique dan egonya yang ia pupuk, aku gagal bahkan ketika aku masuk paragraf kedua. Ketika itu aku mencari referensi tentang bagaimana ia bergelut di dunia sepakbola dan akhirnya bisa menjadi seperti ini. ketika aku mencari referensi-referensi itu, aku menemukan tulisan dari Bang Pange (Pangeran Siahaan) yang di situ banyak sekali pujian dan rasa terimakasih terhadap Zen RS yang membuatnya bisa menulis seperti saat ini. setelah membaca itu, aku merasa menjadi debu di sandal jepit mereka berdua. Aku ndingkluk, dan menghapus semua huruf di paragraf pertama, lengkap dengan judulnya.
Ketiga, ketika aku ingin curhat soal apa yang sedang akan kukerjakan sekarang, aku memulai dengan kalimat yang begitu identik dengan kalimat-kalimat yang telah kugunakan di tulisan lain. Historikal. Tulisan-tulisanku tak variatif cenderung membosankan. Aku berpikir-pikir tentang bagaimana aku bisa menulis dengan model yang lain, dan akhirnya gagal. Hasilnya adalah tulisan ini, yang juga sama historikalnya dengan tulisan-tulisan sebelumnya.
Aku adalah babi yang tak tahu aku babi.

Sabtu, 01 April 2017

2002 dan Endorse Susu

Entah apa yang membuatku suka bermain bola. Bola, dalam hal ini adalah sepakbola. Aku masih sangat ingat ketika aku mengganggu jalannya nonton bareng final piala dunia 2002 antara Brasil melawan Jerman. Untukku, itu salah satu bukti bahwa pada tahun itu, aku masih mah moh pada bola. Singkat waktu, di suatu siang, ketika aku sedang leyeh-leyeh di kamar, seorang kawan mengajakku bermain bola. Ketika itu, aku ikuti saja apa katanya. Tanpa aku tahu apa itu sepakbola. daripada aku menganggur, pikirku saat itu. Lalu beberapa minggu lagi, ia yang harus mendengarkan teriakanku dari luar kamarnya. Meminta hal yang sama. Mulai saat itulah aku menjadi bocah yang gila bola. Aku mencuri-curi waktu untuk bermain bola ketika masih berada di sekolah. Sepulangku dari sekolah, aku mengerjakan tugas sekolah sampai tuntas—ya, aku memang sangat rajin perihal seperti ini, paling tidak, dahulu kala. Setelah itu, ketika hari sudah mulai sore, aku keluar rumah dan mengajak teman-temanku untuk bermain bola. Lagi. Di sela-sela pertandingan, terkadang ada seorang ustad yang menghampiriku dan memintaku untuk membaca beberapa pelajaran mengaji. Mungkin lebih familiar dengan sebutan ngaji privat. Karena aku tak begitu banyak memiliki banyak pilihan, aku pergi ke rumah dan membaca satu atau dua halaman buku Iqro’. Setelah itu, setelah aku tak begitu memusingkan nilai apa yang diberikan kepadaku, aku berlari ke lapangan dan kembali lagi bermain bola. Sebelum langit gelap, aku enggan untuk beranjak dari lapangan. Aku begitu menikmati bagaimana aku menghabiskan waktu kala itu. Pagi? Sudah. Sore? Sudah. Sudah? Belum. Di malam hari, aku juga seringkali bermain bola. Biasanya tepat setelah pertandingan bola Liga Inggris bubar. Dengan kaus long-sleeve, aku berangkat ke lapangan dan berasa seperti pemain profesional yang baru saja kutonton barusan. Gila bola inilah yang mungkin membuatku tak kunjung gemuk. Terakhir kali aku gemuk, aku masih berusia tiga tahun atau kurang. Lebih dari itu, aku begini-begini saja. Ya, minimal, aku cocok dengan iklan susu Hi-Lo, tumbuh itu ke atas, bukan ke samping. Apakah aku Hi-Lo radikal?

Sabtu, 18 Maret 2017

Ludah Roni dan Debu di Pipinya

Siang itu, aku melihat beberapa bocah bersepeda dan saling pamer kemampuan mengendarai sepedanya. Semacam pesepeda profesional saja. Yang terpenting adalah ketika mereka tidak takut akan bahaya yang mungkin akan terjadi. Mulai dari kaki terkilir, sampai kepala terbentur tiang bendera. Benar, saya tidak mengada-ada. Beberapa tahun lalu, saya mendapati seorang kawan yang tak kuasa berdiri karena ban depan dari sepeda yang ditungganginya copot tepat beberapa meter sebelum ia melintasi tiang bendera. Tengkorak mungil, diadu dengan tiang besi yang angkuh. Teman saya rubuh.
Bahagia, senang, bersorak-sorai. Bocah memang seperti itu. Pipi kananku menarik bibirku. Aku tersenyum.
Aku menyusuri memoriku. Memori-memori buruk—dosa—bertebaran dan tersenyum jahat kepadaku. Aku tak bergeming. Sampailah aku pada memori-memori masa lalu, terkena minyak mendidih punya tukang cilok goreng di SD, kencing di kolam kaki musala, menangis karena terjatuh lalu diberikan tendangan penalti sebanyak tujuh kali, dan banyak lagi. Selain hal-hal miris itu, banyak sekali aku merindu ke Ibu. Memang dalam memori-memori indah itu, banyak sekali muka Ibu berserakan. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak kirim doa untuknya. Boro-boro berdoa, qunut saja, hampir lupa aku susunannya. Ah, Ibu, aku rindu. Tapi seakan tak mungkin jika aku akan mengulangi hal-hal itu di masa kini. Aku sudah kalah dengan egoku sendiri. Aku masih malu dengan Ibu yang masih tak kunjung bahagia dengan keberadaanku. Tiap bulan kasih uang saku, tiap bulan tabunganku hanya segitu. Bapak juga begitu. Aku lupa kapan terakhir kali aku bercengkerama hangat dengannya. Biasanya memang hanya seucap dua ucap. Ia kubuat menjadi hanya sekadar alaram pengingat sembahyang buatku ketika berada di rumah. Di luar rumah? Eh eh, tidak usah dibahas.
Debu berterbangan di lapangan. Beberapa siswa bermain voli di sana. Anak-anak itu tak gentar. Mereka bermain saja. Tetap bermain. Aku masih berdiri di balkon. Roni di dekatku tetap berbicara. Sesekali aku berdehem tanda setuju. Tanpa harus tahu apa yang sedang ia bicarakan. Ia semakin semangat. Aku makin tak enak hati. Aku berbalik badan dan mulai membalasi obrolannya. Obrolan kami biasa saja. Ya, hanya itu. Cerita kami tidak begitu menarik. Selain tidak seru, juga terlalu saru.
Aku masih saja mengingat-ingat dan sedikit tersenyum karena aku ingat suatu sore aku bersama Ibu berada di teras rumah. Halaman rumah kami mendadak menjadi semacam kali cukup besar bagi hewan seukuran tikus. Aku yang saat itu baru bisa membuat kapal dari kertas, berinisiatif untuk melayarkan kapal kertasku di atas air yang sedang deras itu. Aku berlari ke kamar dan menyobek beberapa lembar kertas. Ibu meminta beberapa lembar yang lain. Aku berikan kepadanya. Kami membuat kapal dari kertas. Punya Ibu nampaknya bisa berlayar dengan stabil selagi kapalku terlihat doyong melawan derasnya ombak. Aku tetap senang. Air itu menyenangkan. Hujan saat itu begitu indah.
Aku mengumpat sejadi-jadinya. Hujan deras tepat beberapa menit sebelum kelasku usai. Aku mengumpat seribu bahasa. Selain aku lapar, aku sudah tidak tahan untuk keluar. Kampusku serasa enam belas kali lipat sumpeknya daripada pesantrenku. Entah dari mana aku bisa memberi kesimpulan bahwa rasionya adalah enam belas, yang penting aku sudah tidak tahan. Aku mengadu pada Tuhan, tapi Ia tak mau tahu. Siapa aku, juga. Aku masih mencoba percaya bahwa hujan akan segera bubar. Aku mencoba percaya. Aku masih percaya. Tapi akhirnya kelas usai, dan hujan masih saja deras. Angin kencang melewati kelasku dan kulihat ia menjulurkan lidahnya kepadaku. Bangsat, umpatku lagi. Harapan indahku ketika masih baru akan pergi ke kelas tiba-tiba basah. Tiba-tiba kopiku dingin kehujanan. Rokokku mati diludahi langit. Lalu aku sadar aku masih berada di dalam kelas. Tak bergerak sedari setengah jam yang lalu. Hanya berjarak beberapa milimeter dari memori hujan yang mesra, berdiri memori hujan yang membikinku sengsara. lalu kubuang begitu saja.

Roni masih berbicara kepadaku. Dan debu di lapangan itu, memaksaku untuk kedinginan.

Senin, 13 Maret 2017

Sora Aoi dan Para Sofis

Di salah satu pertunjukan stand-up comedy milik Pandji, entah apa nama pertunjukannya. Pandji ngomong, “ketika ganja dilarang karena menyebabkan candu, harusnya rokok juga dilarang dong? Ketika ganja dilarang karena bikin lepas kendali, harusnya minuman beralkohol juga, dong?”.

Yang menjadi perhatian saya di situ adalah candu, dan mabuk atau lepas kendali.

Setelah belasan tahun saya hidup, (iya, saya sudah 19 tahun, saya pakai belasan biar dikira masih 15 atau 16 saja, nyolong umur) saya seringkali menemui candu saya. Begitu pula dengan ketidakmampuan saya mengendalikan diri sendiri. Saya juga melihat banyak sekali orang di lingkungan saya yang juga mempunyai candu mereka sendiri. Sebenarnya, candu itu sama sekali relatif. Tiap karakter orang ditunggangi oleh candu mereka sendiri-sendiri. Perokok, tentu saja mereka—termasuk saya—ditunggangi oleh rokok-rokok mereka. Orang kaya, bisa jadi ditunggangi keinginan-keinginan rakus mereka. Orang miskin, ditunggangi orang-orang kaya. Penikmat film bokep, bisa jadi ditunggangi selangkangan-selangkangan Sora Aoi atau banyak lainnya. Contoh nomor dua dari terakhir adalah tidak tepat, hanya saja saya iri dengan orang kaya, karena saya tak kunjung kaya. Ahsudahlah. Intinya, banyak sekali hal yang membikin candu. Game, rokok, uang, gadis cantik, dan buku adalah beberapa hal yang saya sudah bertemu dengan orang-orang yang candunya adalah hal-hal tersebut. Izinkan saya berasumsi, jika ada hal yang berhasil menunggangi kita, kita akan menyebut mereka sebagai kepentingan, kebutuhan, dan bahkan kewajiban. Nah, sampai pada saat ini, candu akan kemudian membawa kita ke dalam ruangan di mana mereka yang mengendalikan kita. Kita akan masuk kepada di mana, secara teori, kita mabuk. Dan ketika kita mabuk, kita lupa akan Tuhan. ASTAGHFIRULLAH! TOBAT KLEAN!

Baiklah, kita lanjutkan.

Sampai mana tadi?

Jika saya menggunakan logika Jonru yang—mungkin—sudah ustad itu, maka saya akan memberikan kesimpulan seperti ini; mabuk adalah haram, maka orang yang menolak disebut sebagai bukan pemabuk juga haram.

Jika saya adalah Sofis Yunani, mungkin saya akan berorasi seperti ini; “dahulu kala, tempat ini adalah tempat di mana para lelaki melakukan masturbasi, setelah salah tahu dari mereka kedapatan menyetubuhi keledai, mereka sadar bahwa kebiasaan mereka adalah dosa, lalu mereka menutup tempat ini dengan segera dan kembali ke istri-istri mereka”. Lalu salah satu pengikutnya menanyakan akan hal ini, “bukankah desa ini dulunya hanyalah hutan?”. Dan saya akan pura-pura budheg dan menganggap mereka bodoh.

Saya juga hidup dengan candu saya yang masyaallah sulitnya untuk dilepas. Dan saya masih kesulitan untuk menemukan manusia yang tidak dalam pengaruh candu apapun. Apakah itu salah satu dari kalian? 

Lagi, baiklah. Saya hanya ingin menulis tentang candu ini. Karena sudah tentu candu yang tidak kita sadari jelas lebih berbahaya daripada candu-candu yang di situ dituliskan bahwa mereka menyebabkan kecanduan. Karena kita akan terus-menerus menikmati candu tersebut, tanpa ada rasa sesal lalu ingin taubat. Ah, eek kebo. Saya makin ngelantur. Sudah. Pesan moral yang mungkin tidak sadar dan sengaja saya tulis tadi tentu saja saya menulisnya ketika mabuk, tidak usah dianggap serius, apalagi dianggap menggurui, wong saya salat Subuh saja masih Senin-Kamis, kok.

Buat kalian yang belum tau Sora Aoi, lupakan dia, jauh sebelum kalian tahu enaknya ditunggangi olehnya.