Minggu, 25 Mei 2014

و لا عدوان إلا على الظالمين

Betapa indahnya
***
                Diceritakan, beberapa zaman yang lalu. Pada saat tablet—yang obat—pun masih sangat asing dengan bangsa ini. Diceritakan bahwa ada seorang kiai muda yang sowan kepada kiai sepuh. Dalam kunjungannya, beliau meminta doa restu dan cara agar angan-angan beliau—kiai muda—itu tercapai. Angan-angan apa? Membuat seluruh rakyat Indonesia menjadi muslim. Semuanya. Lalu kiai sepuh itu bergegas mengambil al-Qur’an di dekatnya dan lantas membukanya. Beliau—kiai sepuh—memberikan Qur’an tersebut kepada kiai muda, dan berkata, “Mas, kalau sampeyan ingin angan-angan sampeyan tercapai, 

Kamis, 22 Mei 2014

Didik, atau Ajar?

                Dalam satu kesempatan, saya berkesempatan ngaji bareng KH. Mustofa Bisri. Dalam pengajiannya, beliau menyinggung banyak tentang kependidikan. Dan salah satu bahasannya adalah yang selama itu menghantui saya. Pendidikan di Indonesia, itu sebenarnya belum/kurang tepat. Kurang tepat karena namanya adalah pendidikan, tapi nyatanya yang ada di lembaga-lembaga—yang mereka sebut—pendidikan, hanyalah pengajaran. Pendidikan dan pengajaran ini  dua hal yang berbeda jauh lho. Pendidikan, dengan kata dasar didik, artinya pendidikan itu adalah di mana guru mendidik muridnya. 

Matematika. Logika dan Bahasa

Mungkin inilah penyebab utama
***

                Dalam pendidikan, masa-masa awal adalah masa yang paling penting untuk diperhatikan. Karena di situlah fondasi mulai ada. Dan fondasi tersebut akan mengantarkan kita ke mana kita akan berjalan. Di atas fondasi tersebut akan dibangun warung kelontong atau menara besar. Akan dibangun apartemen besar dan kokoh atau rumah ibadah. Dibangun gubuk ataukah sekolah. Seenak kita saja membangunnya,  yang penting cocok dengan fondasinya. Jika kita dari awal sudah mantap memilih fondasi untuk rumah ibadah, ya kita mau tidak mau kita tidak bisa membangun menara yang lebih tinggi dan berat. 

Rabu, 21 Mei 2014

Bahasa

Bahasa itu .. Alat paling canggih. Agree?
***
            Jauh saya tengok ke masa lalu, ada ingatan jelas tentang bagaimana—saat itu—guru saya memulai kegiatan belajar bahasa asing saya—bersama teman-teman tentunya—dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan ringan dan sepele. “Apa bahasa itu?”, begitu kira-kira beliau bertanya. Saya sontak diam, tertegun dan tenggelam dalam lamunan saya. Bukan karena pertanyaan itu sulit atau apa, saya justru kagum dan terbuai oleh bahasa itu sendiri. Betapa bahasa itu luas dan dalam. Coba konsentrasikan otak kalian kepada ‘bahasa’. Coba bayangkan, pikir, dan renungkan, apa bahasa itu? Ada berapa banyak bentuk dan aplikasi bahasa yang muncul dalam otak kita setelah sebentar saja merenung tentang bahasa. Banyak sekali penjelasan yang muncul dari otak kita. Sangat banyak. Tapi hanya sedikit—mungkin—yang dengan yakin mampu menjawab dengan kata-kata, apa itu bahasa. Dan setelah kalimat tadi, beberapa dari kalian mencoba untuk mengatakan isi otak kalian, dan kalian sudah coba berbicara .. dan berbicara .. dan kalian merasa ingin lagi-lagi menambahkan keterangan yang terus bermunculan di otak kalian. Dan kalian ingin terus berbicara tentang apa itu bahasa. Tak ada habisnya memang jika dibicarakan. Sangat banyak pendapat tentang apa itu bahasa. Dan kita akan semakin bingung dan bingung .. apa sebenarnya bahasa itu sih? Hmm .. beberapa kalimat terakhir yang coba menebak apa yang kalian lakukan adalah kemungkinan yang saya lihat. Mungkin salah, dan mungkin benar adanya. Jika salah, Yaaa .. karena itulah saya hanya bisa menulis di blog. Jika semuanya benar, saya tidak mungkin nganggur lalu menulis di sini. Jadi mentalist saja. Heuheu.

Senin, 19 Mei 2014

Errr ..



Saya hanya sebal. Sebal sekali. Hmm .. sebal itu bukan ‘hanya’ sih. Heuheu. Mungkin karena saya agak ambisius dan perfeksionis, jadi seringkali sebal. Mudah sebal. Sebal. Sebal.
***
                Adakah di sini—para pembaca—yang merasa kurang sreg dengan—mereka sebut sih—pendidikan—yang sebenarnya lebih pantas disebut pengajaran—formal di sekitar kita? Di negeri ini? Formal itu berarti tertata, terorganisir, dan diakui oleh lembaga formal—resmi—negara. Adakah? Atau hanya saya? Karena keambisiusan saya saja mungkin ..
                Yang membuat saya sebal dan gemas pada—yang katanya—pendidikan—padahal pengajaran—adalah .. keegoisan yang membuat sikap memaksa untuk melaksanakan sesuatu, padahal banyak hal yang harusnya dirapikan, diselesaikan, dituntaskan terlebih dahulu. Seharusnya tidak usah memaksakan kehendak untuk sesuatu tertentu yang akhirnya meninggalkan dan melupakan hal-hal vital yang masih mengambang.

Masih tidak jelas kalimat-kalimat yang  kalian baca, mungkin. Mari saya lebih jelaskan.

Kamis, 15 Mei 2014

Islam, dan Yang Lain



Islam, secara bahasa ialah selamat. Selamat diambil dari kata Salima yang berarti selamat yang akhirnya dari Salima itu terbentuk kata aslama yang berarti patuh, tunduk, atau menyerahkan diri. Dan secara istilah, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan barlaku bagi seluruh manusia (dan bahkan seluruh alam), di manapun, dan kapanpun. Dan itulah sebagaimana Islam yang kita tahu dan telah kita jalani selama ini—dan semoga sampai mati.
Di sini tentu saya tidak akan mengolok-olok agama lain sebagai agama seperti yang orang-orang di dunia maya lakukan. Marilah bersama menjadi bangsa yang benar-benar bermartabat. Di sini hanya akan ada opini singkat tentang bagaimana—sebagai agamis—menyikapi adanya begitu banyak perbedaan yang akan kita hadapi. Mengapa di sini tidak akan ada olok-olok terhadap agama lain? Tentu bukan karena saya adalah orang yang tidak yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Lalu mengapa? Karena olok-olok itu memang tak perlu disisipkan di sini. Tak berfaedah. Karena toh mereka juga tidak akan mengalah terhadap kita. Akan terjadi pertarungan ego yang tidak akan ada habisnya. Di sini juga tidak akan berfaedah jika penulis akan menunjukkan kelemahan-kelemahan agama lain. Karena toh mereka tidak—mau—membaca tulisan ini, atau tidak—percaya—setelah mereka membaca tulisan ini. Karena—sekali lagi—egoisme. Dan jika para pembaca masih saja ingin membaca olok-olok dan hinaan kepada umat lain, di dunia maya tersedia berjuta-juta kata untuk itu. Dan di situ banyak juga kesalahan dan kelemahan pada agama mereka. Jika para pembaca inginkannya, maaf di sini tak ada.