Kamis, 15 Mei 2014

Islam, dan Yang Lain



Islam, secara bahasa ialah selamat. Selamat diambil dari kata Salima yang berarti selamat yang akhirnya dari Salima itu terbentuk kata aslama yang berarti patuh, tunduk, atau menyerahkan diri. Dan secara istilah, Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan barlaku bagi seluruh manusia (dan bahkan seluruh alam), di manapun, dan kapanpun. Dan itulah sebagaimana Islam yang kita tahu dan telah kita jalani selama ini—dan semoga sampai mati.
Di sini tentu saya tidak akan mengolok-olok agama lain sebagai agama seperti yang orang-orang di dunia maya lakukan. Marilah bersama menjadi bangsa yang benar-benar bermartabat. Di sini hanya akan ada opini singkat tentang bagaimana—sebagai agamis—menyikapi adanya begitu banyak perbedaan yang akan kita hadapi. Mengapa di sini tidak akan ada olok-olok terhadap agama lain? Tentu bukan karena saya adalah orang yang tidak yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Lalu mengapa? Karena olok-olok itu memang tak perlu disisipkan di sini. Tak berfaedah. Karena toh mereka juga tidak akan mengalah terhadap kita. Akan terjadi pertarungan ego yang tidak akan ada habisnya. Di sini juga tidak akan berfaedah jika penulis akan menunjukkan kelemahan-kelemahan agama lain. Karena toh mereka tidak—mau—membaca tulisan ini, atau tidak—percaya—setelah mereka membaca tulisan ini. Karena—sekali lagi—egoisme. Dan jika para pembaca masih saja ingin membaca olok-olok dan hinaan kepada umat lain, di dunia maya tersedia berjuta-juta kata untuk itu. Dan di situ banyak juga kesalahan dan kelemahan pada agama mereka. Jika para pembaca inginkannya, maaf di sini tak ada.


Dalam agama, kita pasti yakin seyakin-yakinnya bahwa agama yang kita anut adalah agama yang pasti benar. No doubt. Tidak perlu lagi untuk memperdebatkannya. Yang perlu dipertanyakan adalah, masih bisakah kita sebagai pemeluk agama yang paling benar ini bersikap dengan benar? Banyak dari kita belum bisa bersikap cerdas dan dewasa dalam menyikapi problematika-problematika yang terjadi. Dalam menyikapi sikap orang lain, kita masih kerap keliru. Dan kekeliruan sikap terhadap sikap orang lain ini tidak perlu sampai menimbulkan perpecahan atau kerenggangan. Ingat, dalam agama kita, tali persaudaraan begitu penting bukan? Lalu mengapa kita nyaman memutusnya? Saat ini—dan itu dimulai ratusan tahun lalu—banyak di antara umat beragama saling benci. Atau bahkan sesama umat saling bermusuhan. Itu memang wajar. Tapi di zaman dahulu yang umatnya ada yang saling benci, mengapa agama ini bisa tumbuh besar sampai saat ini? Karena mereka cerdas dan dewasa menyikapi perbedaan yang timbul itu. Mereka selesaikan bersama, duduk, berargumen, saling kagum dengan kecerdasan masing-masing dari mereka. Mereka adalah orang-orang berpengaruh. Dan hasil dari itu, umat dapat merasakan dan mendapatkan perpaduan pemikiran-pemikiran cerdas yang mereka dapatkan yang awalnya adalah perbedaan itu.
Di zaman ini, kita kerap kali salah menentukan sikap yang itu merugikan kita sendiri dan orang lain. Dan begitu juga kesalahan orang lain begitu merugikan kita. Salah dalam mengambil sikap bisa berdampak sangat buruk untuk kehidupan selanjutnya. Dalam problematika ini, saya ambil contoh banyaknya konflik yang mengatasnamakan agama. Saya berpendapat bahwa sebenarnya tak ada konflik umat Islam dengan umat yang lain, yang ada hanyalah konflik antara dua kelompok atau dua orang yang hanya saja mereka yang berselisih itu berbeda keyakinan, jadi disebutlah seperti itu. Dan jika saja konflik itu diberitakan dengan “KONFLIK ANTAR-AGAMA SEBABKAN BEBERAPA ORANG TEWAS”. Dan itu menyebabkan penganut agama di lain tempat terusik. Bukankah lebih enak dengan “KONFLIK ANTARA A DAN, 5 ORANG TEWAS”. Itu tentu tidak akan menyebabkan kericuhan tambahan. Salah sikap menggunakan kata-kata saja sudah sedemikian besar pengaruhnya bukan?
Dengan melesatnya teknologi dan pendidikan di saat ini, tidak seharusnya kita mencaci maki dengan bahasa alay di dunia maya atau lainnya. Kita—umat Islam—harus punya kecerdasan bersikap. Kita tidak lagi hidup dalam dunia yang perangnya menggunakan parang. Lebih mengena jika kita tahu dan akhirnya mereka bertekuk lutut atas kegigihan kita dalam memerangi mereka lewat hal-hal yang memang seharusnya. Kita kerap kali menyuarakan bahwa kita sedang under their pressures, kita sedang perang, kita sedang dijajah oleh mereka lewat teknologi atau tulisan-tulisan. Lalu sikap kita masih saja mencerminkan kita masih jauh tertinggal dari mereka, dan kita acuh oleh ketertinggalan itu. Mengapa kita tidak serang balik lewat teknologi juga? Mengapa kita tidak tendang mereka lewat buku-buku kita? Buat apa otak kita? Kita sering kali membangga-banggakan cendekiawan muslim zaman dahulu, mengapa kita tidak tiru kecerdasan mereka? Mengapa kita tidak berusaha menjadi secerdas mereka? Think, guys. Sekarang adalah zaman di mana kita harus benar-benar manfaatkan pemikiran kita, untuk berdakwah—sebisa kita. Bukan lewat parang dan pedang lagi. Tidak perlu gunakan bogem dan sikut kita lagi. Mari kita bersama-sama eratkan tali persaudaraan yang renggang itu, kita berjuang dan melangkah dalam barisan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar