Bahasa itu .. Alat paling canggih.
Agree?
***
Jauh
saya tengok ke masa lalu, ada ingatan jelas tentang bagaimana—saat itu—guru
saya memulai kegiatan belajar bahasa asing saya—bersama teman-teman
tentunya—dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan ringan dan sepele. “Apa bahasa
itu?”, begitu kira-kira beliau bertanya. Saya sontak diam, tertegun dan
tenggelam dalam lamunan saya. Bukan karena pertanyaan itu sulit atau apa, saya
justru kagum dan terbuai oleh bahasa itu sendiri. Betapa bahasa itu luas dan
dalam. Coba konsentrasikan otak kalian kepada ‘bahasa’. Coba bayangkan, pikir,
dan renungkan, apa bahasa itu? Ada berapa banyak bentuk
dan aplikasi bahasa yang muncul dalam otak kita setelah sebentar saja merenung
tentang bahasa. Banyak sekali penjelasan yang muncul dari otak kita. Sangat
banyak. Tapi hanya sedikit—mungkin—yang dengan yakin mampu menjawab dengan
kata-kata, apa itu bahasa. Dan setelah kalimat tadi, beberapa dari kalian
mencoba untuk mengatakan isi otak kalian, dan kalian sudah coba berbicara .. dan
berbicara .. dan kalian merasa ingin lagi-lagi menambahkan keterangan yang
terus bermunculan di otak kalian. Dan kalian ingin terus berbicara tentang apa
itu bahasa. Tak ada habisnya memang jika dibicarakan. Sangat banyak pendapat
tentang apa itu bahasa. Dan kita akan semakin bingung dan bingung .. apa
sebenarnya bahasa itu sih? Hmm .. beberapa kalimat terakhir yang coba
menebak apa yang kalian lakukan adalah kemungkinan yang saya lihat. Mungkin
salah, dan mungkin benar adanya. Jika salah, Yaaa .. karena itulah saya hanya
bisa menulis di blog. Jika semuanya benar, saya tidak mungkin nganggur
lalu menulis di sini. Jadi mentalist saja. Heuheu.
***
Bahasa,
alat komunikasi. Mari coba bayangkan, bagaimana perasaan seseorang itu
diutarakan kepada orang lain, tanpa bahasa? Sebuah kemustahilan. Ibu saya pergi
ke dapur dan kembali ke hadapan saya dengan membawa piring lengkap dengan nasi
dan lauk pauknya setelah tak lama saya pegang perut saya dan mata saya
memandang mata ibu saya. Mata yang saling memandang dan tangan yang memegang
perut. Itu sudah cukup untuk berkata-kata. Atau sebuah pengacungan jempol. Jempol yang terbalik dengan yang tidak terbalik bermakna luar biasa jauh beda. Sebuah contoh sederhana dari bahasa
tubuh. Luar biasa.
***
Dengan
banyaknya alat komunikasi yang mempermudah komunikasi kita saat ini, juga
mustahil sekali jika satu saat nanti Tuhan mencabut bahasa manusia dari muka
bumi. Di jejaring sosial dan media massa hanya akan terlihat kumpulan
garis-garis yang saling terhubung dan tertata rapi. Tanpa seorang pun yang
faham dan mengerti maksudnya. Tak ada yang bisa deskripsikan apa garis-garis
itu. Maka bersyukurlah, karena saat ini kita masih sangat leluasa menikmati
garis-garis yang berkesinambungan ini. Dan bisa menikmati maksud dan maknanya.
Saya merasa bahasan ini semakin berat. Entah karena ini sudah larut malam dan
menginjak pagi, atau memang bahasan ini sudah terlampau tinggi.
Sekali
lagi, bersyukurlah karena sampai hari ini, kita masih bisa menikmati indahnya
bahasa. Mulai dari bahasa tubuh, bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan
bahasa-bahasa yang konon—tercatat—ratusan ribu itu. Beruntunglah kita karena sampai hari ini, bahasa tidak—belum
semuanya—dicabut oleh Tuhan. Jika merasa bosan dengan bahasa Jawa atau
Indonesia, mengapa tidak melancong mengunjungi bahasa-bahasa lain? Toh
kalau tidak bisa memahaminya, tinggal pergi ke google translator, beres.
Heuheu. Tapi jika bahasa pemrograman translator-translator itu dicabut
oleh Tuhan, bagaimana? Program-program buatan manusia itu juga tak mau kalah
dengan bangsa bernyawa seperti kita. Mereka juga punya bahasa. CSS, HTML, PHP,
dan lain sebagainya. Apalah itu namanya, saya tidak mengenal mereka. Hanya
sekadar tahu namanya saja. Itu pun dari ketidaksengajaan saya. Dan saya bisa
membaca nama mereka karena bahasa juga. Nah .. bahasa ini memang gila, luar
biasa.
***
Bahasa
itu wajib dinikmati. Karena sulit ditemui tandingan keindahannya. Bagaimana
menikmatinya? Mempelajarinya adalah salah satu contoh. Quran dan kitab suci
lainnya akan menjadi tak ubahnya sekadar bacaan. Yang hanya dilihat dan
dilantunkan. Tanpa ada intisari yang dapat diserap jika kita mulai biasakan
sikap acuh pada bahasa-bahasa lain. Miris bukan? Saya yakin saya akan menyesal
di kemudian hari karena tak bisa menikmati bahasa dengan seksama. Hmm ..
ngomong-ngomong tentang bahasa, saya masih agak bingung dengan bahasa kita
sendiri. Dalam bahasa Indonesia kita, sport(B. Inggris) artinya tak lain
dan tak bukan adalah olahraga. Dan catur (Chess;B.Inggris) masuk dalam kategori
sport yang arti bahasa Indonesianya adalah olahraga. Padahal sport
– mungkin—dalam catur itu cenderung memiliki makna ‘mengakui kekalahan sendiri
dan mengakui kemenangan musuh’. Sportif? Itu kata sifat, agaknya. Sportifitas? Well
.. Bahasa Indonesia agaknya belum punya kosakata itu. Atau mungkin saya yang
kurang mahir sehingga belum dapatkan jawaban yang tepat. Hmmm .. saya coba
kunjungi Google Translator, hasilnya juga sama tuh. Mungkin google
translator dengan saya sama bodohnya dalam hal ini. Heuheu.
By
The Way, dari mana saya dapatkan bahasa tubuh tadi itu? Insting, kan?
Bahasa insting dari Tuhan yang tak ada duanya. Luar biasa.
Ada yang mau
berikan saya kursus bahasa yang belum bisa saya nikmati secara cuma-cuma?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar