Rabu, 21 Mei 2014

Bahasa

Bahasa itu .. Alat paling canggih. Agree?
***
            Jauh saya tengok ke masa lalu, ada ingatan jelas tentang bagaimana—saat itu—guru saya memulai kegiatan belajar bahasa asing saya—bersama teman-teman tentunya—dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan ringan dan sepele. “Apa bahasa itu?”, begitu kira-kira beliau bertanya. Saya sontak diam, tertegun dan tenggelam dalam lamunan saya. Bukan karena pertanyaan itu sulit atau apa, saya justru kagum dan terbuai oleh bahasa itu sendiri. Betapa bahasa itu luas dan dalam. Coba konsentrasikan otak kalian kepada ‘bahasa’. Coba bayangkan, pikir, dan renungkan, apa bahasa itu? Ada berapa banyak bentuk dan aplikasi bahasa yang muncul dalam otak kita setelah sebentar saja merenung tentang bahasa. Banyak sekali penjelasan yang muncul dari otak kita. Sangat banyak. Tapi hanya sedikit—mungkin—yang dengan yakin mampu menjawab dengan kata-kata, apa itu bahasa. Dan setelah kalimat tadi, beberapa dari kalian mencoba untuk mengatakan isi otak kalian, dan kalian sudah coba berbicara .. dan berbicara .. dan kalian merasa ingin lagi-lagi menambahkan keterangan yang terus bermunculan di otak kalian. Dan kalian ingin terus berbicara tentang apa itu bahasa. Tak ada habisnya memang jika dibicarakan. Sangat banyak pendapat tentang apa itu bahasa. Dan kita akan semakin bingung dan bingung .. apa sebenarnya bahasa itu sih? Hmm .. beberapa kalimat terakhir yang coba menebak apa yang kalian lakukan adalah kemungkinan yang saya lihat. Mungkin salah, dan mungkin benar adanya. Jika salah, Yaaa .. karena itulah saya hanya bisa menulis di blog. Jika semuanya benar, saya tidak mungkin nganggur lalu menulis di sini. Jadi mentalist saja. Heuheu.


***
            Bahasa, alat komunikasi. Mari coba bayangkan, bagaimana perasaan seseorang itu diutarakan kepada orang lain, tanpa bahasa? Sebuah kemustahilan. Ibu saya pergi ke dapur dan kembali ke hadapan saya dengan membawa piring lengkap dengan nasi dan lauk pauknya setelah tak lama saya pegang perut saya dan mata saya memandang mata ibu saya. Mata yang saling memandang dan tangan yang memegang perut. Itu sudah cukup untuk berkata-kata. Atau sebuah pengacungan jempol. Jempol yang terbalik dengan yang tidak terbalik bermakna luar biasa jauh beda. Sebuah contoh sederhana dari bahasa tubuh. Luar biasa.

***
            Dengan banyaknya alat komunikasi yang mempermudah komunikasi kita saat ini, juga mustahil sekali jika satu saat nanti Tuhan mencabut bahasa manusia dari muka bumi. Di jejaring sosial dan media massa hanya akan terlihat kumpulan garis-garis yang saling terhubung dan tertata rapi. Tanpa seorang pun yang faham dan mengerti maksudnya. Tak ada yang bisa deskripsikan apa garis-garis itu. Maka bersyukurlah, karena saat ini kita masih sangat leluasa menikmati garis-garis yang berkesinambungan ini. Dan bisa menikmati maksud dan maknanya. Saya merasa bahasan ini semakin berat. Entah karena ini sudah larut malam dan menginjak pagi, atau memang bahasan ini sudah terlampau tinggi.
            Sekali lagi, bersyukurlah karena sampai hari ini, kita masih bisa menikmati indahnya bahasa. Mulai dari bahasa tubuh, bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa yang konon—tercatat—ratusan ribu itu. Beruntunglah kita  karena sampai hari ini, bahasa tidak—belum semuanya—dicabut oleh Tuhan. Jika merasa bosan dengan bahasa Jawa atau Indonesia, mengapa tidak melancong mengunjungi bahasa-bahasa lain? Toh kalau tidak bisa memahaminya, tinggal pergi ke google translator, beres. Heuheu. Tapi jika bahasa pemrograman translator-translator itu dicabut oleh Tuhan, bagaimana? Program-program buatan manusia itu juga tak mau kalah dengan bangsa bernyawa seperti kita. Mereka juga punya bahasa. CSS, HTML, PHP, dan lain sebagainya. Apalah itu namanya, saya tidak mengenal mereka. Hanya sekadar tahu namanya saja. Itu pun dari ketidaksengajaan saya. Dan saya bisa membaca nama mereka karena bahasa juga. Nah .. bahasa ini memang gila, luar biasa.

***
            Bahasa itu wajib dinikmati. Karena sulit ditemui tandingan keindahannya. Bagaimana menikmatinya? Mempelajarinya adalah salah satu contoh. Quran dan kitab suci lainnya akan menjadi tak ubahnya sekadar bacaan. Yang hanya dilihat dan dilantunkan. Tanpa ada intisari yang dapat diserap jika kita mulai biasakan sikap acuh pada bahasa-bahasa lain. Miris bukan? Saya yakin saya akan menyesal di kemudian hari karena tak bisa menikmati bahasa dengan seksama. Hmm .. ngomong-ngomong tentang bahasa, saya masih agak bingung dengan bahasa kita sendiri. Dalam bahasa Indonesia kita, sport(B. Inggris) artinya tak lain dan tak bukan adalah olahraga. Dan catur (Chess;B.Inggris) masuk dalam kategori sport yang arti bahasa Indonesianya adalah olahraga. Padahal sport – mungkin—dalam catur itu cenderung memiliki makna ‘mengakui kekalahan sendiri dan mengakui kemenangan musuh’. Sportif? Itu kata sifat, agaknya. Sportifitas? Well .. Bahasa Indonesia agaknya belum punya kosakata itu. Atau mungkin saya yang kurang mahir sehingga belum dapatkan jawaban yang tepat. Hmmm .. saya coba kunjungi Google Translator, hasilnya juga sama tuh. Mungkin google translator dengan saya sama bodohnya dalam hal ini. Heuheu.


            By The Way, dari mana saya dapatkan bahasa tubuh tadi itu? Insting, kan? Bahasa insting dari Tuhan yang tak ada duanya. Luar biasa.

Ada yang mau berikan saya kursus bahasa yang belum bisa saya nikmati secara cuma-cuma?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar