Saya hanya sebal. Sebal sekali. Hmm .. sebal itu bukan ‘hanya’ sih. Heuheu. Mungkin karena saya agak ambisius dan perfeksionis, jadi seringkali sebal. Mudah sebal. Sebal. Sebal.
***
Adakah di sini—para pembaca—yang merasa kurang sreg dengan—mereka sebut sih—pendidikan—yang sebenarnya lebih pantas disebut pengajaran—formal di sekitar kita? Di negeri ini? Formal itu berarti tertata, terorganisir, dan diakui oleh lembaga formal—resmi—negara. Adakah? Atau hanya saya? Karena keambisiusan saya saja mungkin ..
Yang membuat saya sebal dan gemas pada—yang katanya—pendidikan—padahal pengajaran—adalah .. keegoisan yang membuat sikap memaksa untuk melaksanakan sesuatu, padahal banyak hal yang harusnya dirapikan, diselesaikan, dituntaskan terlebih dahulu. Seharusnya tidak usah memaksakan kehendak untuk sesuatu tertentu yang akhirnya meninggalkan dan melupakan hal-hal vital yang masih mengambang.
***
UN adalah misal paling gamblang dan jelas. Bagaimana mungkin anggaran UN yang mencapai Rp. 545 miliar(tempo.co) lebih menjadi prioritas daripada peningkatan kualitas sekolah dan para guru? Lebih dari 160 ribu sekolah perlu perbaikan dan ratusan ribu guru dibutuhkan untuk tutupi kekurangan. Well .. UN juga tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, siswa yang berangkat sekolah tinggal jalan kaki saja, sekolahnya punya ruang kelas dingin ber-AC, halamannya luas dan asri, nyaman untuk belajar, punya perpustakaan yang besar dan lengkap, serba eksekutif dengan siswa yang berangkat sekolah jalan kaki mengalahkan medan berkilo-kilo meter jauhnya, sesampainya di sekolah dia bertemu dengan ruang kelas yang tak lebih nyaman daripada toilet mall di kota-kota, tak ada perpustakaan, kekurangan guru, tak ada halaman, tak ada kenyamanan untuk bersantai dan belajar dihadapkan dengan soal UN yang sama persis kesulitannya? Bagaimana mungkin siswa-siswa dari kedua sekolah tersebut dihadapkan dengan soal yang sama, dengan kesulitan yang sama? Dan mereka mendapatkan hal yang jauh berbeda? Siswa dari sekolah pertama dapatkan hak mereka dengan layak dan sangat memuaskan, tapi apa kabar dengan para siswa dari sekolah kedua? Dan mereka harus lulus ujian kelulusan dengan mengerjakan soal yang sama. Sama rata. Sorry, excuse me ..
Tidak sampai di situ saja. Karena pihak yang berwenang untuk laksanakan UN semakin terdesak, mereka tak jarang keluarkan statement yang tak masuk akal agar UN tetap dilaksanakan. What a shame. Yang saya paling sesalkan adalah sikap pihak berwenang yang konsentrasinya seakan terforsir untuk UN dan melupakan kesejahteraan peserta didiknya. Bukankah lebih baik untuk lebih konsentrasi tingkatkan kualitas guru dan sarana pendidikan? Itu jauh lebih penting daripada tetap memaksakan hal-hal ngaco yang tidak rasional tersebut.
Dan bahkan, sistem UN itu juga bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara
***
Saya juga akan menyinggung pembengkakan paket soal yang ada di UN adalah untuk hilangkan kecurangan yang ada (perbanyak paket soal=perbanyak anggaran). Saya bersama teman-teman adalah para peserta didik yang pernah menemui hal yang memilukan tersebut. Kecurangan UN di depan mata kami. Tepat sekali di depan mata kami. Saya lihat dengan mata kepala sendiri soal bahasa Indonesia (hari pertama) yang akan diujikan beberapa jam ke depan sudah ada di tangan salah seorang teman saya. Dan saya tidak percaya bahwa itu adalah soal yang akan diujikan pada saat itu. Beberapa saat sebelum berangkat, kunci jawaban sudah diedarkan luas ke peserta ujian yang lain. Karena penasaran, saya memintanya juga. Dan itu terjadi selama ujian berlangsung(4 hari). Dan selama 4 hari itu, setelah saya jawab beberapa soal yang saya bisa, saya tertarik untuk mencoba kebenaran kunci jawaban tersebut. Dengan tenang saya ambil kertas itu, saya baca dengan seksama, lalu saya baca LJK saya, beberapa saat kemudian .. saya tersenyum .. entah senyum apa itu. Bagaimana mungkin UN yang memakan biaya besar dengan dalih memperbanyak paket soal itu masih bisa bocor? What a shame. Dan selama 4 hari, 4 soal bocor. Semua paketnya. Salahkan saya jika menyalahkan mereka yang bergantung pada kunci jawaban karena ketidaktahuan mereka terhadap apa yang diujikan? Salahkah mereka jika mereka mau tidak mau harus memakainya karena mereka tidak semua mendapatkan basic pendidikan yang layak? Salahkah mereka jika mereka memang mau tidak mau harus menghindari label ‘tidak lulus’ agar tak terkena sanksi sosial? IMO, lulus dan tidak lulus adalah cap yang dibuat oleh pihak berwenang, dan itu membuat kondisi psikis peserta didik tidak baik. Dan mereka harus mengejar label ‘lulus’ itu. Halal atau haram, who Cares? Toh di ijazah juga yang akan paling dilihat adalah nilai dan label ‘lulus’-nya. Lalu .. siapa yang salah? Heuheu.
***
“UN adalah salah satu cara agar para peserta didik mau belajar”. Hah? Saya tidak yakin betul itu. Yang saya tahu, para peserta didik akan makin tertekan dan belajar agar—hanya—bisa mengerjakan soal. Tidak belajar untuk menyelesaikan masalah. Yang saya harapkan, pihak berwenang itu sadar jika memaksa peserta didik untuk memahami sesuatu itu .. shame. Sudah bukan zamannya. Jika ingin mereka mau belajar, buat mereka berminat pada pelajaran, buat mereka cinta pelajaran, dan buat mereka ingin tahu banyak! Dan itu tugas guru. Dan jika kita kekurangan guru dari segi kuantitas sekaligus kualitas? Bagaimana mereka bisa minat? Saya punya sedikit cerita. Dahulu kala, ketika saya duduk di kelas 4 sekolah dasar, saya benci mati-matian pada matematika dan IPA. Karenanya, saya asal-asalan saja ikut pelajaran itu. Dan ketika saya duduk di kelas 5, ada pergantian guru. Guru matematika dan IPA diganti. Dan mulai kelas 5 itu, saya gila matematika dan IPA. Dengan senang hati saya belajar, kerjakan soal-soal, dsb. Dan kedua guru tersebut mengajar—mendidik—saya sampai saya kelas 6. Singkat cerita, ketika sudah beberapa pekan menjelang UASBN, saya merasa biasa saja. Karena saya pikir, di UASBN nanti, saya akan sangat senang karena ada soal baru yang harus saya kerjakan. Saya belajar secukupnya. Saya memang tak biasa belajar formal berjam-jam, karena menurut saya, 24 jam saya adalah pelajaran bagi saya. Saya juga tenang saja untuk begadang nonton bola pada saat itu. Lalu ketika beberapa hari jelang UASBN, di mana teman-teman saya sibuk belajar dan mengunci pintu kamar untuk belajar, saya malah lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain games. Saya belajar secukupnya saja. Karena minat dan cinta saya pada pelajaran-pelajaran yang akan diujikan di UASBN, belajar sebentar pun sudah sangat cukup. Hari-hari UASBN sudah tiba, dan berlalu begitu saja. Dan kini yang dinantikan adalah hari di mana kami akan diwisuda. Beberapa hari jelang wisuda, saya datang ke sekolah seperti biasa, untuk latihan seremonial wisuda. Dan pada H-1 wisuda, di waktu rehat gladi resik seremoni wisuda, saya memilih untuk membantu teman-teman saya yang memindahkan barang-barang dari kantor menuju lokasi seremoni. Dan di situlah saya tak sengaja dapatkan lembaran buletin yang isinya adalah artikel tentang saya yang mendapatkan NEM tertinggi se-kecamatan (not bad, lah. Hehe) Saya, siswa dari sebuah sekolah swasta yang 1 bulannya membayar—hanya—Rp. 10.000 itu berhasil mengalahkan siswa-siswa dari sekolah-sekolah lain. Sekolah negeri pun. The Power of Teacher. Setelah lulus, sampai sekarang, saya tidak ada minat-minatnya tuh sama matematika dan IPA. Hilang sudah. Tak ada lagi guru yang makes sense. Hehe. Lagi-lagi, The Power of teacher.
Cukuplah saya memberikan keluhan, saran, dan kritik saya. Semoga pihak yang berwenang segera diberikan kelapangan agar bisa mengalahkan egonya untuk bangsa ini.
***
Untuk kawan-kawan, tak usahlah risau dengan kemahiran fisika orang lain. Toh dia juga tak semahir kalian dalam menggambar. Jackie Chan tak pernah risau melihat kehebatan Lin Dan di atas lapangan bulutangkis. Taufik Hidayat tak pernah iri dengan Bambang Pamungkas yang mahir menyundul bola ke gawang lawan. Lionel Messi tak pernah susah karena dia tak bisa main basket macam Jordan. Ketika orang-orang besar itu benar-benar menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai, apakah kalian masih saja beriri dengki? Belajarlah apa yang kalian minati dan cintai.
Segala sesuatu itu jenius, tapi jika kalian nilai seekor ikan dari caranya memanjat pohon, dia akan merasa bodoh sepanjang hidupnya – Albert Einstein
Dear, Albert Einstein. Apakah Anda seorang yang ambisius juga? Atau perfeksionis macam saya dan Steve Jobs? Hmm .. tak penting apalah itu, yang penting .. tolonglah saya, yang lagi gusar dan sebal. Saya sebal ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar