Minggu, 01 Juni 2014
Kejahatan Samar nan Kejam
Label:
Belajar,
Opini,
Pemikiran,
Pendidikan
Minggu, 25 Mei 2014
و لا عدوان إلا على الظالمين
Betapa indahnya
***
Diceritakan, beberapa zaman yang
lalu. Pada saat tablet—yang obat—pun masih sangat asing dengan bangsa ini.
Diceritakan bahwa ada seorang kiai muda yang sowan kepada kiai sepuh.
Dalam kunjungannya, beliau meminta doa restu dan cara agar angan-angan
beliau—kiai muda—itu tercapai. Angan-angan apa? Membuat seluruh rakyat
Indonesia menjadi muslim. Semuanya. Lalu kiai sepuh itu bergegas
mengambil al-Qur’an di dekatnya dan lantas membukanya. Beliau—kiai sepuh—memberikan
Qur’an tersebut kepada kiai muda, dan berkata, “Mas, kalau sampeyan
ingin angan-angan sampeyan tercapai,
Label:
Agama,
Bernegara,
Konflik Agama,
Pemikiran,
Toleransi Agama
Kamis, 22 Mei 2014
Didik, atau Ajar?
Dalam
satu kesempatan, saya berkesempatan ngaji
bareng KH. Mustofa Bisri. Dalam pengajiannya, beliau menyinggung banyak tentang
kependidikan. Dan salah satu bahasannya adalah yang selama itu menghantui saya.
Pendidikan di Indonesia, itu sebenarnya belum/kurang tepat. Kurang tepat karena
namanya adalah pendidikan, tapi nyatanya yang ada di lembaga-lembaga—yang mereka
sebut—pendidikan, hanyalah pengajaran. Pendidikan dan pengajaran ini dua hal yang berbeda jauh lho. Pendidikan,
dengan kata dasar didik, artinya pendidikan itu adalah di mana guru mendidik
muridnya.
Matematika. Logika dan Bahasa
Mungkin inilah penyebab utama
***
Dalam pendidikan, masa-masa awal
adalah masa yang paling penting untuk diperhatikan. Karena di situlah fondasi mulai
ada. Dan fondasi tersebut akan mengantarkan kita ke mana kita akan berjalan. Di
atas fondasi tersebut akan dibangun warung kelontong atau menara besar. Akan dibangun
apartemen besar dan kokoh atau rumah ibadah. Dibangun gubuk ataukah sekolah. Seenak
kita saja membangunnya, yang penting
cocok dengan fondasinya. Jika kita dari awal sudah mantap memilih fondasi untuk
rumah ibadah, ya kita mau tidak mau kita tidak bisa membangun menara yang lebih
tinggi dan berat.
Label:
Bahasa,
Guru,
Logika,
Matematika,
Pemikiran,
Pendidikan
Rabu, 21 Mei 2014
Bahasa
Bahasa itu .. Alat paling canggih.
Agree?
***
Jauh
saya tengok ke masa lalu, ada ingatan jelas tentang bagaimana—saat itu—guru
saya memulai kegiatan belajar bahasa asing saya—bersama teman-teman
tentunya—dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan ringan dan sepele. “Apa bahasa
itu?”, begitu kira-kira beliau bertanya. Saya sontak diam, tertegun dan
tenggelam dalam lamunan saya. Bukan karena pertanyaan itu sulit atau apa, saya
justru kagum dan terbuai oleh bahasa itu sendiri. Betapa bahasa itu luas dan
dalam. Coba konsentrasikan otak kalian kepada ‘bahasa’. Coba bayangkan, pikir,
dan renungkan, apa bahasa itu? Ada berapa banyak bentuk
dan aplikasi bahasa yang muncul dalam otak kita setelah sebentar saja merenung
tentang bahasa. Banyak sekali penjelasan yang muncul dari otak kita. Sangat
banyak. Tapi hanya sedikit—mungkin—yang dengan yakin mampu menjawab dengan
kata-kata, apa itu bahasa. Dan setelah kalimat tadi, beberapa dari kalian
mencoba untuk mengatakan isi otak kalian, dan kalian sudah coba berbicara .. dan
berbicara .. dan kalian merasa ingin lagi-lagi menambahkan keterangan yang
terus bermunculan di otak kalian. Dan kalian ingin terus berbicara tentang apa
itu bahasa. Tak ada habisnya memang jika dibicarakan. Sangat banyak pendapat
tentang apa itu bahasa. Dan kita akan semakin bingung dan bingung .. apa
sebenarnya bahasa itu sih? Hmm .. beberapa kalimat terakhir yang coba
menebak apa yang kalian lakukan adalah kemungkinan yang saya lihat. Mungkin
salah, dan mungkin benar adanya. Jika salah, Yaaa .. karena itulah saya hanya
bisa menulis di blog. Jika semuanya benar, saya tidak mungkin nganggur
lalu menulis di sini. Jadi mentalist saja. Heuheu.
Senin, 19 Mei 2014
Errr ..
Saya hanya sebal. Sebal sekali. Hmm .. sebal itu bukan ‘hanya’ sih. Heuheu. Mungkin karena saya agak ambisius dan perfeksionis, jadi seringkali sebal. Mudah sebal. Sebal. Sebal.
***
Adakah di sini—para pembaca—yang merasa kurang sreg dengan—mereka sebut sih—pendidikan—yang sebenarnya lebih pantas disebut pengajaran—formal di sekitar kita? Di negeri ini? Formal itu berarti tertata, terorganisir, dan diakui oleh lembaga formal—resmi—negara. Adakah? Atau hanya saya? Karena keambisiusan saya saja mungkin ..
Yang membuat saya sebal dan gemas pada—yang katanya—pendidikan—padahal pengajaran—adalah .. keegoisan yang membuat sikap memaksa untuk melaksanakan sesuatu, padahal banyak hal yang harusnya dirapikan, diselesaikan, dituntaskan terlebih dahulu. Seharusnya tidak usah memaksakan kehendak untuk sesuatu tertentu yang akhirnya meninggalkan dan melupakan hal-hal vital yang masih mengambang.
Masih tidak jelas kalimat-kalimat yang kalian baca, mungkin. Mari saya lebih jelaskan.
Kamis, 15 Mei 2014
Islam, dan Yang Lain
Islam, secara
bahasa ialah selamat. Selamat diambil dari kata Salima yang berarti
selamat yang akhirnya dari Salima itu terbentuk kata aslama yang
berarti patuh, tunduk, atau menyerahkan diri. Dan secara istilah, Islam adalah agama
wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan barlaku bagi seluruh
manusia (dan bahkan seluruh alam), di manapun, dan kapanpun. Dan itulah
sebagaimana Islam yang kita tahu dan telah kita jalani selama ini—dan semoga
sampai mati.
Di sini tentu saya tidak akan mengolok-olok agama lain sebagai agama
seperti yang orang-orang di dunia maya lakukan. Marilah bersama menjadi bangsa
yang benar-benar bermartabat. Di sini hanya akan ada opini singkat tentang
bagaimana—sebagai agamis—menyikapi adanya begitu banyak perbedaan yang akan
kita hadapi. Mengapa di sini tidak akan ada olok-olok terhadap agama lain?
Tentu bukan karena saya adalah orang yang tidak yakin bahwa Islam adalah agama
yang paling benar. Lalu mengapa? Karena olok-olok itu memang tak perlu
disisipkan di sini. Tak berfaedah. Karena toh mereka juga tidak akan
mengalah terhadap kita. Akan terjadi pertarungan ego yang tidak akan ada
habisnya. Di sini juga tidak akan berfaedah jika penulis akan menunjukkan
kelemahan-kelemahan agama lain. Karena toh mereka tidak—mau—membaca
tulisan ini, atau tidak—percaya—setelah mereka membaca tulisan ini.
Karena—sekali lagi—egoisme. Dan jika para pembaca masih saja ingin membaca
olok-olok dan hinaan kepada umat lain, di dunia maya tersedia berjuta-juta kata
untuk itu. Dan di situ banyak juga kesalahan dan kelemahan pada agama mereka.
Jika para pembaca inginkannya, maaf di sini tak ada.
Label:
Agama,
Konflik Agama,
Opini,
Pemikiran,
Toleransi Agama
Selasa, 29 April 2014
Syukur, Syukur!
Bahagia itu mudah. Kata para pemikir khusus,
bahagia itu sederhana. Bagi kami—para manusia malam—bahagia itu mudah. Dan
kebahagiaan kami tidak sesederhana kebahagiaan mereka. Kebahagiaan kami lebih
kompleks, lengkap nan menawan. Kebahagiaan kami didapat dengan cara yang lebih
sederhana dari mereka.
Kebahagiaan
dalam diri kami sangatlah mudah didapat, itu karena kehidupan kami memang
melulu soal bagaimana bahagia dan tidak mengeluh. Mereka—manusia
khusus—bersulit-sulit untuk untuk ‘dapatkan’ kebahagiaan—yang padahal ada
setiap saat. Yaaa, karena mereka terus mempermasalahkan masalah-masalah yang
mereka buat sendiri. Mereka setiap harinya juga belajar, bekerja dalam tekanan.
Bak hidup dalam panci presto.
Label:
Dunia Malam,
Insomnia,
Pemikiran,
Pendidikan,
Syukur
Pemikir Khusus vs Pemikir 'Biasa-Biasa Saja'
Dunia insomnia itu indah sekali. Seindah pemikiran para penduduknya di sana. Jauh sekali
berbeda dengan dunia para pemikir khusus pagi sampai siang. Mengapa khusus? Ya
karena mereka jarang atau mungkin tidak pernah berpikir di luar waktu itu. Para
pemikir khusus ini, kebanyakan para pemikir yang—berpura-pura—berpikir hal-hal
yang sangat banyak. Dan kebanyakan disebabkan oleh ketidaktahuan mereka dengan
pondasi hal-hal yang harus dipikirkan itu. Hmm .. banyak juga
yang—pura-pura—berpikir agar dia tetap dianggap dalam suatu komunitas tersebut.
Konsekuensi jahat nan tidak adil telah mengadili mereka bertahun-tahun lamanya.
Dalam sistem pemikiran mereka, mereka harus menempuh waktu tertentu untuk
belajar dan mendapatkan sertifikasi untuk dipajang di tempat tinggal mereka.
Sebelum mendapatkan pajangan itu, mereka berkali-kali mendapatkan hari-hari
khusus untuk berpusing di dalamnya. Mereka dicerca pertanyaan-pertanyaan yang
isinya menanyakan beberapa hal yang dia—pura-pura—pikirkan beberapa waktu
sebelumnya. Mereka harus mengingat-ingat hal-hal itu. Pada periode ini, mereka
dalam fase sulitnya. Yaa, karena hal-hal yang mereka pikirkan itu jarang atau
tidak pernah mereka ingat-ingat dan pikirkan sehari-harinya. Karena kesalahan
mereka sendiri itu, tak ayal mereka mengeluh di sana-sini. Yaa mereka mengeluh
karena mereka berpikir atas dasar bukan pemikiran mereka. Heuheu.
Label:
Dunia Malam,
Insomnia,
Opini,
Pemikiran,
Pendidikan
Langganan:
Postingan (Atom)